Kamis, 03 Desember 2009

Guru SMAN 82 Terbelah Sikapi Insiden "Jalur Gaza"

Rabu, 11 November 2009 - 12:11 wib
text TEXT SIZE :
Muhammad Saifullah - Okezone
Salah satu sudut di SMAN 82, Jakarta (Foto: kaskus)

JAKARTA - Insiden Jalur Gaza di SMAN 82 memunculkan respons beragam dari para staf pengajar. Satu kubu mendukung agar para pelaku diproses secara hukum.

Adapun pihak lain menginginkan agar kasus ini diredam sehingga nama baik sekolah tetap terjaga. "Info terakhir di internal sekolah ada dua kubu. Yang pro dan kontra," ujar alumnus SMAN 82 Bebi Apriliani saat berbincang dengan okezone di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selaku alumnus, Debi mengaku kecewa dengan insiden yang menimpa Ade Fauzan Mahfuza (15). Kekerasan fisik yang dialami siswa kelas I itu selayaknya tak perlu terjadi, apabila semua pihak menjalankan perannya dengan benar. "Saya sedih dengan almamater. Di pintu masuk kan sudah ada plang besar bertuliskan anti-bullying. Tapi faktanya kekerasan tetap saja terjadi," sesal dia.

Sementara itu, para staf pengajar di SMAN 82 bungkam ketika dikonfirmasi. Saat okezone bertandang ke SMAN 82 tidak ada yang bersedia memberikan komentar. Mereka bahkan menyuruh wartawan okezone menunggu tanpa kepastian. Seorang staf pengajar yang menyambut bahkan terkesan mem-ping-pong wartawan. "Pak Waka Kurikulum masih mengajar silahkan ke bagian humas atau kepala sekolah," ujarnya setelah sebelumnya menyuruh menunggu selama 30 menit.

Ironisnya saat sarannya diikuti, dia menolak mengantarkan okezone menemui bagian humas atau kepala sekolah. Guru lain yang ditanya mengaku tidak tahu ruangan humas dan kepala sekolah. "Ke sana saja, saya gak tahu apa-apa," kilahnya lantas berlalu pergi.

Guru BP SMAN 82 Gozali ketika dikonfirmasi menolak memberikan komentar terkait insiden Jalur Gaza. Dia beralasan tidak memiliki wewenang memberikan penjelasan kepada pihak luar. "Dengan Bapak Waka Kurikulum saja ya," ungkap dia.

Para siswa yang ditanya mengenai musibah yang menimpa Ade juga bersikap seragam. Mereka memilih menghindar dengan alasan tidak tahu apa-apa. "Saya gak tahu mas," ujar salah seorang siswa yang ditemui di parkir SMAN 82.

Ade mengaku sempat didatangi rekan dan para gurunya di RS Pusat Pertamina. Menurut Ade, beberapa guru menawarkan damai dengan orangtuanya. Namun permintaan itu ditolak. "Mama gak mau damai," tegasnya.

Sementara itu, sejumlah alumnus SMAN 82 mendesak agar pihak sekolah memproses kasus ini ke ranah hukum. Para pelaku harus mendapatkan hukuman setimpal agar memunculkan efek jera. Desakan agar Jalur Gaza dihapus juga bermunculan dari para alumni. "Kita menggalang dukungan lewat Facebook," ujar Bebi.

Alumnus SMAN 82 angkatan 1999, Arif ketika dikonfirmasi menyatakan memang ada sejumlah konvensi di tempatnya mengenyam pendidikan itu. Salah satunya adalah larangan bagi anak kelas I dan II melewati koridor di depan ruang kelas III. ?Selain itu, anak kelas I dan II tidak boleh bawa mobil. Untuk yang cewek juga dilarang memakai rok di atas lutut,? ungkap dia.

Arif bahkan mengaku pernah menjadi korban dari para seniornya. Dirinya sempat dibawa menggunakan mobil oleh para seniornya karena melanggar salah satu konvensi di SMAN 82. Namun dia tidak sampai dipukuli. "Biasanya anak kelas III juga melihat, apakah juniornya itu tengil atau gak? Kalau keterlaluan ya biasanya dikasih pelajaran. Tapi kalau tidak, ya aman-aman saja," ujarnya.

Menyikapi musibah yang menimpa Ade, Arif menyatakan ikut prihatin. Namun dia berharap agar persoalan itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pertimbangannya para pelaku sebentar lagi harus mengikuti ujian nasional. "Ke polisi boleh, tapi harus dijadikan sarana mediasi saja. Jangan sampai mereka dipenjara. Kan kasihan sebentar lagi ujian," pungkas dia. (ful)(ahm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar