Sabtu, 05 Desember 2009

Ekonomi Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Ekonomi Indonesia
Mata uang Rupiah
Tahun fiskal Tahun kalender
Organisasi perdagangan APEC, ASEAN, WTO
Statistik [1]
Peringkat PDB ke-15
PDB $863,6 milyar (2005)
Pertumbuhan PDB 4,8% (2004)
PDB per kapita $3.200 (2004)
PDB berdasarkan sektor pertanian (16.6%), industri (43.6%), jasa (39.9%) (2004)
Inflasi 6.6% (2004)
Pop di bawah garis kemiskinan 8.% (1998)
Tenaga kerja 105,7 juta (2004)
Tenaga kerja berdasarkan pekerjaan produksi 46%, pertanian 16%, jasa 39% (1999)
Pengangguran 8.7% (2004)
Industri utama minyak bumi dan gas alam; tekstil, perlengkapan, dan sepatu; pertambangan, semen, pupuk kimia, plywood; karet; makanan; pariwisata
Perdagangan Internasional[2]
Ekspor $113,99 milyar (2007)
Komoditi utama minyak dan gas, plywood, tekstil, karet
Mitra dagang Jepang 22,3%, Amerika Serikat 12,1%, Singapura 8,9%, Korea Selatan 7,1%, Cina 6.2% (2003)
Impor $74,40 milyar (2007)
Komoditi utama mesin dan peralatan; kimia, bahan bakar, makanan
Mitra dagang Jepang 13%, Singapura 12,8%, Cina 9,1%, Amerika Serikat 8,3%, Thailand 5,2%, Australia 5,1%, Korea Selatan 4,7%, Arab Saudi 4,6% (2003)
Keuangan publik [3]
Utang pemerintah $454.3 milyar (56.2% dari GDP)
Pendapatan $40.91 milyar (2004)
Belanja $44,95 milyar (2004)
Bantuan ekonomi $43 milyar dari IMF (1997–2000)
Sunting

Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.

[sunting] Latar belakang

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.

Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.

Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar